Islah di Tengah Kontroversi: Dugaan Penganiayaan Santri Ponpes Miftah Diselesaikan Damai
Kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Miftah akhirnya berujung damai. Setelah sempat menimbulkan kehebohan dan sorotan publik, pihak keluarga korban dan pihak pesantren sepakat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan melalui mekanisme islah.
Keputusan ini menuai beragam reaksi dari masyarakat. Di satu sisi, banyak yang menghargai semangat perdamaian dan musyawarah yang dijunjung tinggi dalam tradisi pesantren. Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelesaian kasus kekerasan di lingkungan pendidikan agama.
Kronologi Singkat Kasus
Kasus ini mencuat ke publik setelah orang tua salah satu santri melaporkan dugaan penganiayaan yang terjadi di dalam lingkungan ponpes. Korban, seorang santri kelas menengah, dikabarkan mengalami luka fisik setelah menerima perlakuan kasar dari seorang seniornya.
Laporan sempat diajukan ke pihak kepolisian setempat, dan penyelidikan awal telah dimulai. Namun, sebelum kasus berlanjut ke proses hukum, pihak keluarga pelapor dan pengurus pondok melakukan pertemuan tertutup. Hasilnya, disepakati jalan damai sebagai solusi bersama.
Musyawarah dan Islah: Tradisi atau Pelarian?
Pimpinan Ponpes Miftah dalam pernyataannya menegaskan bahwa kejadian tersebut telah diselesaikan secara damai demi menjaga keharmonisan dan kekeluargaan di lingkungan pesantren.
“Kami mengutamakan nilai-nilai Islam yang mengajarkan perdamaian dan penyelesaian konflik melalui islah. Kedua belah pihak telah saling memaafkan,” ujar pimpinan pondok dalam konferensi pers singkat.
Sementara itu, orang tua korban juga menyatakan telah menerima permohonan maaf secara langsung dan berharap kejadian serupa tidak terulang.
Meski begitu, keputusan ini menimbulkan tanda tanya di kalangan pemerhati pendidikan dan perlindungan anak. Banyak yang menilai bahwa meskipun penyelesaian damai adalah hak setiap pihak, kasus dugaan kekerasan seharusnya tetap mendapat perhatian serius dari aparat hukum agar tidak menimbulkan preseden negatif.
Reaksi Masyarakat dan LSM
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) wilayah Kalsel menyatakan keprihatinannya. Dalam rilis resmi, mereka menyebut bahwa proses islah tidak boleh menjadi celah untuk menutupi praktik kekerasan dalam pendidikan berbasis pesantren.
“Damai adalah pilihan, tapi evaluasi sistemik tetap harus dilakukan. Santri berhak mendapat lingkungan belajar yang aman dan bebas dari kekerasan,” ungkap salah satu pengurus LPAI.
Media sosial pun diramaikan dengan perdebatan. Beberapa pihak mendukung pendekatan damai dan kekeluargaan, namun tak sedikit pula yang menilai bahwa pesantren harus lebih terbuka dalam mengatasi konflik, terutama yang menyangkut keselamatan anak.
Peluang Perbaikan
Kasus ini menjadi momen refleksi penting bagi seluruh pesantren di Indonesia. Islah bisa menjadi solusi yang luhur, namun harus dibarengi dengan upaya preventif yang nyata. Evaluasi sistem pembinaan, pelatihan etika bagi pengasuh dan santri senior, serta pelaporan kekerasan yang mudah diakses, perlu menjadi bagian dari reformasi internal pesantren.
Pemerintah daerah dan Kementerian Agama diharapkan turun tangan tidak hanya dalam pengawasan, tetapi juga dalam memberi pembinaan agar pesantren tetap menjadi tempat pendidikan yang aman, damai, dan beradab.