Keluhan Presiden Prabowo soal Impor Migas: Nyaris Rp655 Triliun Lenyap ke Luar Negeri
Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan keprihatinannya terhadap ketergantungan Indonesia pada impor minyak dan gas (migas). Dalam sebuah pidato ekonomi nasional di Jakarta, Prabowo mengungkap bahwa setiap tahun, Indonesia harus mengalokasikan hampir Rp655 triliun hanya untuk memenuhi kebutuhan migas dari luar negeri. “Itu jumlah yang sangat besar. Lenyap ke luar negeri begitu saja,” tegasnya dengan nada kecewa.
Angka Fantastis yang Menguras Kantong Negara
Presiden menyampaikan bahwa nilai impor migas sebesar Rp655 triliun setara dengan sekitar 10% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan. Angka ini tidak hanya mencerminkan beban fiskal, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya ketahanan energi nasional saat ini. “Kita seperti menyuapi negara lain sementara sumber daya kita sendiri belum diolah secara maksimal,” kata Prabowo dalam pidatonya yang disambut tepuk tangan peserta forum.
Ironi Negara Kaya Sumber Daya
Indonesia dikenal memiliki cadangan energi yang cukup melimpah—mulai dari minyak, gas, hingga potensi energi terbarukan. Namun, rendahnya investasi di sektor hulu migas, birokrasi berbelit, serta kurangnya keberpihakan pada teknologi dalam negeri membuat negara ini tetap bergantung pada pasokan luar.
Prabowo menilai bahwa hal ini adalah bentuk “pengkhianatan terhadap potensi bangsa sendiri.” Ia mengajak semua pemangku kepentingan untuk mempercepat transformasi energi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor migas dalam waktu dekat.
Rencana Aksi Pemerintah
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo sedang menyiapkan sejumlah langkah strategis, antara lain:
• Revitalisasi kilang dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi pengolahan minyak mentah.
• Insentif fiskal bagi investor sektor hulu migas dan energi alternatif.
• Pemangkasan regulasi yang menghambat eksplorasi dan produksi.
• Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai solusi jangka panjang.
“Jika kita terus seperti ini, kita akan kehilangan momentum untuk mandiri dalam energi,” ujar Prabowo dengan nada tegas.
Reaksi Publik dan Ekonom
Pernyataan Prabowo memicu respons luas dari berbagai kalangan. Para ekonom sepakat bahwa defisit migas memang menjadi salah satu penyebab utama defisit transaksi berjalan Indonesia selama bertahun-tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor migas terus meningkat dalam lima tahun terakhir, meskipun harga energi dunia berfluktuasi.
Di media sosial, netizen memberikan beragam komentar. Sebagian mendukung seruan Prabowo untuk kemandirian energi, namun tak sedikit pula yang menyindir lambatnya realisasi pembangunan kilang dan pengembangan energi terbarukan.
Momentum Reformasi Energi
Keluhan Presiden Prabowo bukan sekadar alarm fiskal, tetapi juga panggilan untuk perubahan mendasar dalam pengelolaan energi nasional. Rp655 triliun per tahun bukan hanya angka di atas kertas—itu adalah potensi yang bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan rakyat.
Kini, tantangannya adalah bagaimana pemerintah dapat membuktikan komitmennya, bukan hanya dalam retorika, tapi melalui kebijakan nyata yang menempatkan kemandirian energi sebagai prioritas nasional.